Perang Dagang Amerika vs China dan Dampaknya Bagi Indonesia
Perang Dagang Amerika Serikat vs China
Dalam beberapa tahun belakangan ini, mitra dagang Amerika dari Asia,
seperti China, telah mendapatkan keuntungan besar melalui perdagangan
mereka dengan Amerika Serikat (AS), yang sedang dilanda permasalahan
deindustrialisasi yang meluas dan PHK pekerja pabrik.
Presiden AS Donald Trump telah mempertimbangkan permasalahan tersebut dan
berjanji akan “kembali membuka lapangan pekerjaan di AS.” Di tahun pertama
kepresidenannya, dia memulai perang dagang Amerika dengan efektif dengan
menerapkan bea impor yang mahal untuk panel surya dan mesin cuci buatan
luar negeri, yang merupakan bidang yang dikuasai China dan Korea Selatan
selama ini.
Dalam beberapa bulan kedepan, Pemerintah AS berharap dapat meningkatkan
dukungan tersebut dengan menerapkan peraturan tarif kepada lawan industri
teknologi maju, dengan fokus utama menarget perusahaan China yang diduga
melakukan pencurian yang melanggar hak kekayaan intelektual.
Risikonya adalah adanya kemungkinan meningkatnya perang dagang Amerika yang
akan merusak hubungan negara terkait. Dalam upayanya untuk “melindungi
pekerjaan di Amerika,” pemerintahan Trump dapat menciptakan kondisi yang
membuat negara-negara yang memiliki industri unggul saling senggol. Yang
menjadi taruhan tidak hanya era ekonomi global yang belum pernah terjadi
sebelumnya, namun juga perdamaian antar negara adidaya.
Undang-Undang Tarif Smoot-Hawley tahun 1930, di mana AS memberlakukan tarif
pada lebih dari 20.000 barang impor, menjadi salah satu faktor yang
menyebabkan Depresi Besar diawal abad ke-20.
Sebagai negara ekonomi terdepan di dunia saat itu, proteksionisme agresif
AS menyebabkan keruntuhan perdagangan global, karena setiap negara
menerapkan langkah-langkah yang sesuai untuk mempertahankan industri lokal
mereka.
Hasilnya adalah aksi saling menghancurkan perekonomian, yang memicu perang
yang paling merusak dalam sejarah manusia. Dalam beberapa dekade terakhir,
AS telah mencoba perang perdagangan virtual dengan hasil yang sering kali
berujung bencana.
Ketika mantan Presiden AS Barack Obama memutuskan untuk menerapkan tarif 35
persen pada produk roda China pada tahun 2009, sang raksasa Asia tersebut
merespons dengan memberlakukan pembatasan pada impor makanan AS.
Jika pemerintah Trump memberlakukan sanksi perdagangan baru, China
kemungkinan akan merespons dengan merusak perusahaan-perusahaan AS yang
telah beroperasi di wilayah mereka, sambil mencegah pihak lain untuk secara
permanen membentuk pasar konsumen terbesar di dunia.
China dapat memulai dengan meninggalkan kontrak milyaran dolar untuk
membeli pesawat Boeing AS dan lebih memilih untuk membeli European Airbus,
memperketat peraturan tentang pembuatan dan penjualan produk Apple,
mengurangi impor kedelai dan produk makanan AS, dan bahkan menarik tagihan
atas pembelian yang dilakukan kebendaharaan AS, yang selama ini menjaga
ekonomi AS tetap bertahan.
Pemerintahan Trump, bagaimanapun, tetap teguh dengan pendiriannya sambil
memenuhi hasrat nasionalisnya. Secara khusus, kebijakan itu mengarah kepada
penerapan perdagangan persenjataan tritunggal secara sepihak, yang dapat
memicu sanksi luas terhadap China dan mitra dagang utama lainnya.
Keputusan tersebut termasuk keputusan dalam peraturan perdagangan AS untuk
melakukan penyelidikan. Pada awal Januari, Departemen Perdagangan
mengajukan sebuah laporan mengenai impor baja berdasarkan pasal 232 dari
Undang-Undang Ekspansi Perdagangan tahun 1962, yang memungkinkan pembatasan
perdagangan diberlakukan untuk melindungi keamanan nasional. Dalam beberapa
bulan ke depan, pemerintah Trump harus memutuskan apakah akan memberlakukan
tarif impor baja, yang akan mempengaruhi China – pengekspor baja terbesar
di dunia.
Sebuah penyelidikan juga telah dimulai dalam kasus impor aluminium dan
dalam hal pelanggaran hak kekayaan intelektual AS berdasarkan pasal 301
dari Undang-Undang Perdagangan 1974.
Trump telah memperingatkan “permintaan ganti rugi yang besar atas
pelanggaran kekayaan intelektual”, yang dia klaim, “akan segera dirilis.”
Jika ancaman tersebut terus berlanjut, Cina dan mitra dagang utama lainnya
secara luas diperkirakan, setidaknya akan membawa AS ke pengadilan karena
dituduh sebagai rezim yang melanggar perdagangan multilateral.
Skenario menakutkan ini akan segera memiliki efek berkesinambungan bagi
seluruh ekonomi global, yang sangat bergantung pada hubungan perdagangan
yang stabil di antara kekuatan-kekuatan pemuka perdagangan.
Yang nampak jelas adalah bahwa dalam waktu semalam saja AS telah berubah
dari advokat unggulan perdagangan bebas menjadi penjahat proteksionis di
mata teman dan musuh mereka. Ancaman yang lebih besar, bagaimanapun, adalah
perang perdagangan akan berubah menjadi perang yang panas, karena semangat
nasionalisme yang memadamkan hasil dari globalisasi.
Berikut adalah dampak dari perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dengan
Tiongkok (China) 1. Ekspor Sawit Menurun
Perang Dagang Amerika vs China dan Dampaknya Bagi IndonesiaAri Aliyansyah
December 14, 2018
0 komentar:
Post a Comment